Bangkutaman Ode Buat Kota (Vinyl 12") (SOLD OUT)

rating

Album Ode Buat Kota mengingatkan kembali kenangan saya akan hiruk pikuk kota Jakarta. Hampir setahun lalu—setelah nyaman selama 24 tahun tinggal di Bandung—saya merelakan diri untuk menjadi salah satu penduduk nomad di ibukota. Saya merasakan macetnya Sudirman di pagi hari, antrian busway yang panjang, duduk di kantor redaksi dalam sebuah gedung pencakar langit, berebut metromini, menghirup uap polusi, mengomeli cuaca yang panas, terjebak banjir, atau bertemu sesama perantau di stasiun Gambir kala akhir pekan. Selama tiga bulan lebih saya menjadi penduduk tak ber-KTP Jakarta.

Sebelumnya, Jakarta bukan pula kota yang asing bagi saya. Sesekali saya mampir hanya sekedar untuk melihat geliat pertunjukan musik atau mengunjungi kawan. Selebihnya, Jakarta adalah potret seperti apa yang saya lihat di televisi. Ia, ibukota yang bermuram durja. Dihiasi oleh pelbagai berita-berita kriminalitas atau dipenuhi sensasi-sensasi selebritas. Apakah ada semangat warga Jakarta melihat kotanya?

Kota Jakarta (atau lebih tepatnya kota-kota besar) selama ini dilihat sebagai sesuatu yang penuh paradoks. Ia menawarkan harapan dan masa depan yang lebih baik, namun di satu sisi jurang-jurang kemiskinan menganga di sudut-sudut kota.

Kota seolah ‘hanya’ menjadi pemilik reklame iklan, pemegang kebijakan, atau para Satpol Pamong Praja penggusur rumah warga. Suara warga Jakarta mungkin hanya bisa tertuang di kolom surat pembaca media massa. Selebihnya, apakah warga-warga itu bisa melampiaskan kegalauannya?

Kegalauan itu saya rasakan di album sophomore Bangkutaman, Ode Buat Kota. Sepuluh lagu di album ini, merupakan gundah gulananya perasaan Wahyu “Acum” Nugroho (bas, vokal), Justinus Irwin (gitar), dan Dedyk Eryanto (drum) tentang kondisi kota Jakarta yang sudah sekian tahun mereka tinggalkan. Maklum saja, Bangkutaman lama dan besar di Yogyakarta. Sebuah daerah yang boleh jadi berbanding terbalik dengan situasi di Jakarta yang egoistik nan individualis.

Terbentuk pada tahun 1999, Bangkutaman adalah tiga anak muda Jakarta yang sedang menuntut ilmu di kota pendidikan, Yogyakarta. Acum mengambil jurusan Biologi Universitas Atmajaya. Dua rekan lainnya, Irwin mengambil jurusan Sastra Inggris di Universitas Sanata Dharma dan Dedyk memilih Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Tiba-tiba scene musik indie-pop Yogya tergetarkan oleh trio ini. Lewat debut albumnya, Love Among The Ruins (2003, Blossom Records) Bangkutaman mulai menujukkan eksistensinya. Musiknya sangat dikenal dengan satu nama saja sebagai pengaruh terbesarnya: The Stone Roses. Maka, tak aneh ketika menonton Ian Brown (vokalis The Stone Roses) mampir ke Jakarta beberapa waktu lalu, Acum disebut telah “naik haji”.

Menginjak tahun 2005, mereka merilis satu buah mini album, Garage of the Soul. Mereka juga masuk dalam kompilasi video Ready-O yang merekam geliat scene musik indie tanah air bersama Mocca, Jeruji, Teenage Deathstar, The S.I.G.I.T., Homogenic, The Upstairs, dan lainnya.

Pasca-periode itu, saya tidak mendengar gebrakan berarti dari mereka. Pada 2006, Irwin keluar sementara dari Bangkutaman untuk proyek terbarunya, “Johnny and the Pistol Heroes”. Ia juga merilis karya solonya, single “Hymn For A Friend In The Sky” (2007) dan mini album, Local Heroes (2008) yang dirilis cuma-cuma via netlabel Yesnowave Music. Acum pun tak kalah. Ia menjadi additional untuk band Ballads of the Cliché dan The Sweaters. Ia juga membentuk band baru, Sugarspin. Namun, nihil rilisan.

Akan tetapi, bagaimana kabarnya Bangkutaman? Tak ada album baru. Tak ada gebrakan baru. Semua menyayangkan keluarnya Irwin. Bangkutaman tahan nafas. Tanpa mengkesampingkan peran Dedyk, akan tetapi peran Acum dan Irwin adalah duo dinamo penting yang menggerakkan mesin Bangkutaman. Tahun 2008 adalah momen terbaik bagi band ini. Dalam sebuah gig kecil bernama We are Pop! Volume 4, Bangkutaman tampil dengan formasi ideal dan komplet; Acum, Irwin, dan Dedyk.

Untuk ancang-ancang dirilisnya album baru, awal tahun ini mereka sempat merilis album IX yang dirilis oleh Yesnowave Music dan berisi B-sides and rarities mereka selama satu dekade 1999-2009. Dalam album ini memang terdapat dua lagu bocoran dalam album baru Ode Buat Kota yaitu lagu “Ode Buat Kota” dan “Catch Me When I Fall”. Namun, kualitas rekamannya tentu saja masih mentah. (Idhar Resmadi)

Jakarta
  • Rp. 375,000,-
  • Ex Tax:Rp. 375,000,-
  • Format :
  • Track List :
  • Story :
  • Release Date : 0000-00-00
  • Product Code:ELE-014
  • Availability:In Stock

Tags: #VinylIndonesia

Album Ode Buat Kota mengingatkan kembali kenangan saya akan hiruk pikuk kota Jakarta. Hampir setahun lalu—setelah nyaman selama 24 tahun tinggal di Bandung—saya merelakan diri untuk menjadi salah satu penduduk nomad di ibukota. Saya merasakan macetnya Sudirman di pagi hari, antrian busway yang panjang, duduk di kantor redaksi dalam sebuah gedung pencakar langit, berebut metromini, menghirup uap polusi, mengomeli cuaca yang panas, terjebak banjir, atau bertemu sesama perantau di stasiun Gambir kala akhir pekan. Selama tiga bulan lebih saya menjadi penduduk tak ber-KTP Jakarta.

Sebelumnya, Jakarta bukan pula kota yang asing bagi saya. Sesekali saya mampir hanya sekedar untuk melihat geliat pertunjukan musik atau mengunjungi kawan. Selebihnya, Jakarta adalah potret seperti apa yang saya lihat di televisi. Ia, ibukota yang bermuram durja. Dihiasi oleh pelbagai berita-berita kriminalitas atau dipenuhi sensasi-sensasi selebritas. Apakah ada semangat warga Jakarta melihat kotanya?

Kota Jakarta (atau lebih tepatnya kota-kota besar) selama ini dilihat sebagai sesuatu yang penuh paradoks. Ia menawarkan harapan dan masa depan yang lebih baik, namun di satu sisi jurang-jurang kemiskinan menganga di sudut-sudut kota.

Kota seolah ‘hanya’ menjadi pemilik reklame iklan, pemegang kebijakan, atau para Satpol Pamong Praja penggusur rumah warga. Suara warga Jakarta mungkin hanya bisa tertuang di kolom surat pembaca media massa. Selebihnya, apakah warga-warga itu bisa melampiaskan kegalauannya?

Kegalauan itu saya rasakan di album sophomore Bangkutaman, Ode Buat Kota. Sepuluh lagu di album ini, merupakan gundah gulananya perasaan Wahyu “Acum” Nugroho (bas, vokal), Justinus Irwin (gitar), dan Dedyk Eryanto (drum) tentang kondisi kota Jakarta yang sudah sekian tahun mereka tinggalkan. Maklum saja, Bangkutaman lama dan besar di Yogyakarta. Sebuah daerah yang boleh jadi berbanding terbalik dengan situasi di Jakarta yang egoistik nan individualis.

Terbentuk pada tahun 1999, Bangkutaman adalah tiga anak muda Jakarta yang sedang menuntut ilmu di kota pendidikan, Yogyakarta. Acum mengambil jurusan Biologi Universitas Atmajaya. Dua rekan lainnya, Irwin mengambil jurusan Sastra Inggris di Universitas Sanata Dharma dan Dedyk memilih Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Tiba-tiba scene musik indie-pop Yogya tergetarkan oleh trio ini. Lewat debut albumnya, Love Among The Ruins (2003, Blossom Records) Bangkutaman mulai menujukkan eksistensinya. Musiknya sangat dikenal dengan satu nama saja sebagai pengaruh terbesarnya: The Stone Roses. Maka, tak aneh ketika menonton Ian Brown (vokalis The Stone Roses) mampir ke Jakarta beberapa waktu lalu, Acum disebut telah “naik haji”.

Menginjak tahun 2005, mereka merilis satu buah mini album, Garage of the Soul. Mereka juga masuk dalam kompilasi video Ready-O yang merekam geliat scene musik indie tanah air bersama Mocca, Jeruji, Teenage Deathstar, The S.I.G.I.T., Homogenic, The Upstairs, dan lainnya.

Pasca-periode itu, saya tidak mendengar gebrakan berarti dari mereka. Pada 2006, Irwin keluar sementara dari Bangkutaman untuk proyek terbarunya, “Johnny and the Pistol Heroes”. Ia juga merilis karya solonya, single “Hymn For A Friend In The Sky” (2007) dan mini album, Local Heroes (2008) yang dirilis cuma-cuma via netlabel Yesnowave Music. Acum pun tak kalah. Ia menjadi additional untuk band Ballads of the Cliché dan The Sweaters. Ia juga membentuk band baru, Sugarspin. Namun, nihil rilisan.

Akan tetapi, bagaimana kabarnya Bangkutaman? Tak ada album baru. Tak ada gebrakan baru. Semua menyayangkan keluarnya Irwin. Bangkutaman tahan nafas. Tanpa mengkesampingkan peran Dedyk, akan tetapi peran Acum dan Irwin adalah duo dinamo penting yang menggerakkan mesin Bangkutaman. Tahun 2008 adalah momen terbaik bagi band ini. Dalam sebuah gig kecil bernama We are Pop! Volume 4, Bangkutaman tampil dengan formasi ideal dan komplet; Acum, Irwin, dan Dedyk.

Untuk ancang-ancang dirilisnya album baru, awal tahun ini mereka sempat merilis album IX yang dirilis oleh Yesnowave Music dan berisi B-sides and rarities mereka selama satu dekade 1999-2009. Dalam album ini memang terdapat dua lagu bocoran dalam album baru Ode Buat Kota yaitu lagu “Ode Buat Kota” dan “Catch Me When I Fall”. Namun, kualitas rekamannya tentu saja masih mentah. (Idhar Resmadi)

Write a review

Note: HTML is not translated!
    Bad           Good