Taufiq Rahman, Musik Liga Tarkam, The Jack of All Trades
Taufiq Rahman, Musik Liga Tarkam, The Jack of All Trades

Kepenulisan musik yang terlalu mengeksploitir hal-hal teknis ataupun seputar craftmanship kerap menjadi obat tidur yang paling mujarab. Menulis musik tak melulu mesti menyelisik sebetapa kampiunnya sang musisi dalam perkara instrumentasi hingga teknik vokal. Berlarat-larat menjelaskan dahsyatnya falseto Jonsi dalam setiap nomor Sigur Ros, mengagung-agungkan setiap babakan atmospheric nomor-nomor Deafheaven dari permainan gitar Kerry McCoy, merinci semua perangkat audio rakitan Olafur Arnalds yang ujung-ujungnya selalu dijadikan totem musisi elektronik, hingga menghitung berapa kali Munaf Rayani dkk. mengeksekusi kresendo saat Explosions in the Sky manggung. Semua pembahasan serupa itu, tanpa ditopang pembacaan gagasan dan konteks, pada akhirnya mengukuhkan si penulis yang emoh mengeksplorasi hal-hal lain di luar perkara yang auditif. Kendati semua remeh-temeh di dapur pertukangan—atau sebut saja segala hal menyangkut komponen struktural—adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah pembongkaran karya musik, hal itu tak cukup untuk mengguar sebuah karya musik yang mampu berbicara lebih jauh tak hanya soal urusan bebunyian.

Dari kondisi semacam itulah, peran kritik musik sangat krusial untuk memancangkan pembongkaran artistik karya para musisi. Kendati kebanyakan kritikus musik lokal masih berkutat dalam tataran kritik apresian—yang masih berperan sebagai juru bicara musisi dan belum betul-betul mengkritisi karya musik yang dijadikan objek garapannya—namun patut disoroti pula bahwa telah ada kritikus musik lokal yang dengan gigih menulis kritik musik lengkap dengan golok analisisnya masing-masing, serta disiplin memperhatikan koherensi teori-teori yang ditakiknya. Ia tak hanya sebagai legitimasi ataupun seabreg penobatan kepada para musisi atas karyanya. Atau jika meminjam istilah seorang kawan, ia tak hanya perkara “salutasi kolegial” yang ditulis untuk mengapresiasi musik kolega atau orang-orang terdekatnya. Ia justru mesti berani membelejeti langsung karya musik itu, mengguar serta mengungkapkan inovasi atau pencapaian musikalnya, membongkar konvensi estetika yang diusung, menyelami selubung-selubung gagasan yang lesap dalam lirik, hingga mampu mengejawantahkan posisi karya musik yang dikritisi di tengah situasi sosial, ekonomi, budaya, serta kecamuk politik sekalipun.




Apabila kultur kritik musik itu terus diruwat, mungkin musisi yang kini bertengger di jalur pop pun bisa menaruh elan pembangkangan serupa dengan musisi-musisi progresif yang bergerilya di arus independen. Ke depannya, barangkali kita bisa dengan mudah mengetahui bahwa salah satu nomor Manic Street Preachers berjudul Mayakovsky di album Futurology itu memang didedikasikan bagi seorang penyair eksil Rusia pentolan partai RSLDP fraksi Bolshevik, yang juga menjadi pelopor gerakan puisi Russian Futurism. Begitu pula lewat pembongkaran gagasan serta konteks kelahiran krautrock via para eksponennya dari mulai Kraftwerk, Neu!, Faust, serta Tangerine Dream; kita bisa menginsafi bahwa kelahirannya adalah respon terhadap Revolusi Industri. Atau mungkin ke depannya kita pun tak akan lagi berpusat pada pembahasan efek gitar apa saja yang dipakai Nick Steinhardt dalam rangkaian pedalboard-nya, dan lebih memilih menyelami interteks lirik dari setiap nomor Touché Amoré di album Stage Four yang berkisah ihwal mendiang ibunda sang vokalis Jeremy Bolm, untuk lantas mengukuhkan mereka sebagai unit hardcore-punk paling melankolis.




Atas dasar demikian lah, posisi seorang Taufiq Rahman memegang hal yang krusial.




Fajar Nugraha berkesempatan mewawancarai Taufiq Rahman via surat elektronik untuk kolom Penggerak di Metaruang. Taufiq Rahman sendiri adalah pendiri situs Jakartabeat.net, pemilik label rekaman Elevation Records, orang di balik unit usaha penerbitan Elevation Books, redaktur pelaksana kolom politik The Jakarta Post, ayah dari seorang puteri yang juga menggandrungi musik, serta seperti apa yang dipaparkan sebelumnya, Taufiq adalah salah seorang penulis musik yang kerap berangkat dengan golok analisisnya sendiri—baik musik yang irisannya dengan politik, ekonomi, serta kesusastraan sekalipun. Hingga kini Taufiq telah merilis dua buku yang bertajuk Lokasi Tidak Ditemukan: Mencari Rock and Roll sampai 15.000 Kilometer (Elevation Books) dan Pop Kosong Berbunyi Nyaring: 19 Hal yang Tidak Perlu Diketahui tentang Musik (Elevation Books, Maret 2017). Dalam wawancara kali ini, kita bisa menemukan tentang urgensi kritik musik kiwari, sebetapa pentingnya mendengarkan This Heat, hingga hal lain menyangkut musisi-musisi ‘kelas bulu’ yang jadi obsesi kepenulisan musik Taufiq.




 




 




Metaruang




Dalam tulisan-tulisan anda, musik dan politik hadir sebagai bagian integral. Ia umpama ruh yang membuat tulisan anda tampak hidup. Apa yang melatar-belakangi anda memilih jalan kritik musik dengan pendekatan ataupun memakai pisau bedah itu?




Taufiq Rahman




Sesungguhnya hal tersebut karena saya tidak memiliki kualifikasi teknis untuk menulis musik dan meng”analisa”-nya dengan teori musik, teori seni atau teori budaya. Saya tidak tahu beda staccato dengan vibrato, saya hanya tahu sedikit soal perbedaan antara impresionisme dengan ekspresionisme atau juga cuma tahu sedikit perbedaan antara strukturalisme dan post-strukturalisme. Saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan lebih banyak membaca berita dan analisa soal politik lokal, regional dan internasional. Jadi jika kemudian saya menulis tentang musik maka sangat logis jika saya kemudian memakai cara pandang yang saya gunakan dalam memahami kondisi aktual politik atau ekonomi ke dalam tulisan-tulisan tentang musik. Jadi sesungguhnya hanya masalah teknis belaka sebenarnya. Saya juga bisa menulis sedikit agak panjang hanya jika mempertautkan dengan bahasan politik juga. Ya bisa saja sih menulis musik dengan mendeskripsikan bunyi dan suara, tapi pasti jadi membosankan.




Menulis musik juga menjadi semacam pelarian dari ketidakmampuan saya untuk menulis karya fiksi. Saya sudah mencoba menulis fiksi tapi saya memutuskan bahwa saya tidak cukup punya imajinasi untuk bercerita. Saya juga tidak mau menulis tanpa fakta dan data dan cenderung menulis tentang menjadikannya social commentary, komentar sosial tentang apa saja. Dan lebih dari semuanya, saya tidak menulis untuk orang lain, saya hanya perlu untuk mengeluarkan apa yang ada di kepala atau saya akan gila. Musik adalah satu-satunya hal yang cukup bisa membuat saya tergerak untuk menulis. Menulis tentang politik itu hanya bagian pekerjaan sehari-hari dan saya sama sekali tidak bangga atau mendapat kepuasan karenanya. Saya mendengarkan musik untuk mempertahankan kewarasan di dunia yang penuh absurditas ini. Jika Anda bisa menikmati musik dari segenap pelosok dunia, jika saja Trump pernah mendengar lagu “Sarabe Toe” dari Khourosh Yaghmaei, saya yakin dia akan berfikir 1000 kali sebelum berfikir untuk mendeklarasikan perang terhadap Iran. Sayangnya Trump cuma pernah mendengar satu lagi dari Sinatra, “My Way”.




 




Metaruang




Seperti jamur di musim penghujan, hari ini tumbuh subur media-media yang mendaku alternatif dan disokong korporasi rokok. Getol sekali mereka memproduksi konten musik trivia kering, dengan analisa yang kerap bikin garuk kepala. Kendati ada pula media yang memproduksi konten musik yang cukup kritis, masih bisa dihitung jari kuantitasnya. Tak semelimpah web atau terbitan di luar sana. Bagaimana anda sendiri melihat situasi demikian? Dan urgensi seperti apa yang menghendaki betapa pentingnya kritik musik?




Taufiq Rahman




Sebenarnya tidak hanya soal musik saja. Tidak banyak analisa politik, literatur, sepak bola, film atau dunia masak-memasak yang bernas dan mencerahkan. Padahal di luar sana, tulisan-tulisan ulasan untuk hal-hal di atas sudah biasa ditulis dengan serius oleh penulis dengan pendekatan multidisipliner yang sangat mencekat. Atau kalaupun misalnya tidak menggunakan pendekatan secara teoretis, dengan membaca New York Times, New Yorker, atau Pitchfork, kita tahu bahwa penulisnya adalah seseorang yang rajin membaca. Kita di Indonesia memberi standar yang terlalu rendah. We set the bar too low. Menulis makanan, ya harus dilakukan oleh orang yang tahu tentang industri makanan, menulis musik harus orang yang aktif di dalamnya atau tahu tentang teori musik atau menulis film harus orang yang tahu industrinya. Kita terlalu suka membatasi diri dengan kotak-kotak. Pada akhirnya kita hanya punya ahli di bidang itu dan hanya untuk bidang itu. Kita tidak versatile dan tidak kelihatan tahu banyak. Tidak ada yang salah untuk tahu akan banyak hal. Orang yang menulis musik seharusnya tahu soal politik, soal makanan sekaligus juga film. Jonathan Gold, kritikus makanan Los Angeles Times itu dulu kritikus musik dan kalau Anda lihat di New Yorker, penulis politik senior seperti David Remnick atau Evan Osnos, mereka juga bisa menulis musik dengan sangat bagus. Atau ada juga astrofisikawan seperti Janna Levin yang juga menulis novel. Tidak ada salahnya juga misalnya menulis tentang korupsi di penjara Sukamiskin dengan mengutip apa yang ditulis Dostoevsky di Crime and Punishment.




Jadi kalau di luar sana, menulis musik seperti saya itu standar minimal, pasti yang paling jelek, tapi karena di sini tidak terlalu banyak yang melakukan jadinya seperti penting banget, padahal biasa saja. Kita seharusnya juga tidak perlu takut bahwa kita kemudian dituduh tidak tahu apa-apa dan tahu sedikit di banyak bidang, the jack of all trades.




Menulis musik seharusnya menjadi bagian dari mendengarkan musik dan tidak seharusnya menjadi hamba bagi kepentingan industri untuk menjual rokok, baju atau website belanja. Ya tapi itu tentu saja tidak terhindarkan karena mereka akan selalu mencari trend baru. Untuk keluar dari kondisi itu kita sebaiknya melakukan aktivitas menulis secara independen, membuat komunitas sendiri dan mencatat sejarah versi kita sendiri. Teknologi informasi menjadikan konformitas menjadi makin mudah, tapi juga menjanjikan potensi perlawanan jika kita mau melakukannya.




 




Metaruang




Salah satu hal yang bisa diinsafi dari Pop Kosong Berbunyi Nyaring adalah atensi anda yang tak main-main dalam hal mengeksploitir musik-musik dari para peserta liga tarkam, pemain figuran dan pelengkap penderita di belantika musik Indonesia serta dunia—persis seperti apa yang anda bilang. Sampai-sampai, di jalan makadam hardcore-punk pun anda lebih memilih mengguar Minutemen tinimbang unit hardcore-punk lain semisal Refused atau Nation of Ulysses yang juga punya elan pembangkangan serupa. Apakah ini kemudian menjadi cetak biru buat kepenulisan kritik musik anda yang lebih mengarahkan sepasang binokular artistiknya ke musisi atau band ‘kelas bulu’?




Taufiq Rahman




Saya punya kepercayaan bahwa kalau musisi kelas bulu tidak dipedulikan banyak orang dan terus membikin album, berarti mereka adalah musisi atau seniman yang baik dan benar. Minutemen, Dead Kennedys, This Heat atau Fugazi adalah musisi-musisi dan seniman serius yang menghasilkan karya yang jika didengarkan secara serius akan membuat hidup kita lebih kaya dengan kontemplasi dan pencarian arti. Mereka membantu saya untuk menemukan arti dari hidup—terdengar tragis kalau mencari arti hidup dari musik pop—tapi betul saya lebih banyak menemukan arti dari mengalami hidup lebih banyak dari musik. Hidup yang tidak dipikirkan adalah hidup yang tidak layak dijalani, demikian kata orang bijak dan saya menemukan bahwa musik tiga kampiun punk di atas, musik Farid Al Attrash, Orchestra Baobab, Kourosh Yaghmaei atau musik se-mainstream The National bisa membantu menemukan arti—atau ketiadaan arti itu. Selain juga apa serunya membahas sesuatu yang sudah dibicarakan oleh banyak orang, Guns N Roses, Beatles atau Rolling Stone atau Drake sudah terlalu banyak dibahas. Sudah tidak seru lagi. Jadi di luar masalah seberapa besar mereka tidak ada lagi yang bisa dibicarakan. Kalau mau baca berapa banyak album yang mereka jual, baca saja majalah Billboard, selesai. Kalau kenapa Minutemen dibanding Refused atau Nations of Ullyses—yang memang semua dipengaruhi oleh jazz—saya menemukan Minutemen lebih jazz dalam semangat dan bukan dalam bentuk. Minuteman lebih flamboyan, santai, rileks, tidak mengggebu-gebu—literally—seperti Refused. Ada waktu usia juga, saya sudah mulai menua jadi lebih sering memutar Steely Dan dan Buena Vista Social Club, Kind of Blue dari Miles Davis, the Shape of Jazz to Come milik Ornette Coleman dibanding the Shape of Punk to Come. Kata Buzzcocks, kalau sudah tua, noise annoys! Ha ha




 




Metaruang




Manakala membahas legasi Benny Soebarja dengan prodak artistiknya di hadapan rezim Orde Baru, anda menyeret nama Simon Reynolds dengan pembahasan ihwal Retromania-nya. Seberapa jauh pengaruh sang kritikus musik marxis sekaligus juru belejet musik pop dan UK post-punk itu dalam kerja kepenulisan kritik musik anda?




Taufiq Rahman




Saya pernah sebentar jadi kader muda partai sayap kiri lokal dan sempat percaya kalau ekonomi menentukan politik, bahwa kenyataan yang sebenarnya itu ada di struktur dan bukan suprastruktur, jadi mudah bagi saya untuk lebih reseptif dan bisa menerima ide-ide pemikiran kiri. Oleh karenanya saya lebih mudah menyerap tulisan-tulisan kritikus semacam Simon Reynolds, kritikus dari tradisi pemikiran majalah Guardian yang kiri semacam Dorian Lynskey atau kalau dari Amerika Serikat penulis musik structuralist semacam Carl Wilson yang menguliti album Celine Dion dengan cara pandang pemikiran Pierre Bourdieu. Saya tidak pernah secara text-book dalam memakai pendekatan strukturalisme dalam tulisan saya, karena kalau serius ke arah sana, ya mungkin untuk tulisan PhD saja. Saya mencobanya lebih ringan dan lebih amatir agar tidak mengintimidasi pembaca. Cukup sebagai fondasi bangunan tulisan saya, bahwa menulis budaya akan terasa kosong jika kita hanya bicara estetika formal saja tanpa mempedulikan dari mana sang seniman berasal. Kelas pekerja menghasilkan punk atau dang dut, borjuasi menghasilkan indie rock. Fugazi pernah bilang, “Irony is the refuge of the educated.” Hanya borjuasi yang suka genit dengan estetika indie rock, baik di Amerika Serikat, Portland maupun di Jakarta.




 




Metaruang




Lewat pembacaan lirik dan upaya pendedahan bagian-bagian kecil nan enigmatik dari kolase pada sampul, anda menganggap bahwa album Deceit adalah sebuah nubuat yang berhasil memprediksikan kehancuran Amerika karena rasisme, demokrasi, dan kekerasan. Adakah This Heat memang seprofetik itu bagi anda tinimbang para proponen post-punk lainnya? Dan bagaimana kisah saat anda menemukan This Heat pertama kali?




Taufiq Rahman




Sebenarnya bukan soal apakah This Heat berhasil dengan tepat menubuatkan kehancuran demokrasi Amerika. Jika Anda mengikuti sejarah politik Amerika Serikat sejak awal dekade 1970-an, sudah mulai bisa dilihat bahwa pembusukan sistem dua partai dan segenap sistem politik hanya menunggu waktu dan sudah banyak juga karya seni yang menubuatkannya. Randy Newman di album Good Old Boys dan Sail Away sudah menubuatkan hal ini. Atau album Dead Kennedys, Fresh Fruit for Rotting Vegetables, itu spot-on banget dalam memprediksi inequality yang kini menjadi monster di Amerika. Yang paling menakutkan dari album This Heat adalah betapa menakutkannya tribalisme Amerika berhasil dinubuatkan, lengkap dengan apokalips nuklir yang dengan Trump naik, efektif kembali menjadi bahaya terbesar dunia. Sehabis ribut-ribut dengan Korea Utara, Anda sekarang bisa lihat rejim ultranasionalis Trump mulai membuat ribut dengan Iran, yang juga merupakan kekuatan nuklir. Di dalam negeri Amerika Serikat tribalisme itu menghasilkan cekaman kekerasan yang sangat menakutkan. Mitos manusia frontier membuat orang Amerika percaya bahwa kebebasan individu hanya bisa muncul dari kepemilikan senjata yang diekploitasi oleh industri senjata dan alat perang yang menyokong ekonomi Amerika. Tidak ada masyarakat di dunia di mana economic well-being warga negaranya disokong oleh agresivitas militer negaranya. Saya pernah hanya tinggal 2 tahun di Amerika dan menjadi bagian dari campus shooting. Jadi bisa dibayangkan betapa random-nya kekerasan itu. Di Amerika Serikat konsekuensi dari sistem yang jahat adalah tragedi personal dari individu-individu manusia di dalamnya. Benar kata Arcade Fire: “I don’t want to live in America no more!”




Namun ironisnya, saya menemukan This Heat, band dari Inggris justru di Amerika. Di era pra-internet saya pernah menemukan ulasan album This Heat Deceit masuk ke salah satu album terbaik dekade 1980-an. Kalau tidak salah masuk urutan ke 96. Tapi gambar sampulnya cukup meninggalkan bekas di pikiran saya. Saya terus memikirkan album itu sebelum berkesempatan mendengarkan musiknya. Ketika saya di Amerika saya memiliki akses ke iTunes–waktu itu hanya bisa diakses di negara tertentu saja–dan saya membelinya secara ketengan, dua lagu saja: “New Kind of Water” dan “Independence”. Ini adalah salah satu dari sedikit album di mana ketika didengar pertama kali, jauh lebih dahsyat dari prekonsepsi apapun yang telah saya bangun sebelumnya. Sampai sekarang, album ini sudah lama tidak beredar dan edisi vinil dari dekade 1980-an sudah sangat mahal. Tidak ada label di Inggris yang mau merilisnya dan justru label Amerika Lights in the Attic-lah yang merilis ulang.`Saya memesan langsung ke label hip ini hanya beberapa hari sebelum sold-out. Ketika saya kembali ke website mereka saya hanya bisa membeli lagi album pertama mereka. Saya beli album ini untuk teman di Bandung.




 




Metaruang




Album-album di masa lalu yang menjadi favorit, anda boyong dan koleksi satu per satu. Jika kembali pada Retromania-nya Simon Reynolds yang membagi nostalgia ke dalam dua macam: yakni “nostalgia as reverie” dan “nostalgia as restoration”, apakah nostalgia yang anda lakukan itu hanya as reverie lewat pengalaman auditif mendengar vinyl album favorit? Ataukah ia mewujud sebagai radical nostalgia yang juga meneroka hal-hal terbarukan di hari ini?




Taufiq Rahman




Saya bukan orang yang romantis yang suka berlama-lama dengan masa lalu, tapi jika akhirnya terjebak ke dalam nostalgia saya hanya memilih untuk reverie saja. Lebih sering untuk itu. Saya terobsesi dengan revolusi industri rekaman dekade 1960-an dan 1970-an dan mendengarkan album dari era itu lebih sering karena dari dua dekade itulah teknologi reproduksi bunyi dan suara mencapai puncaknya dan itu yang membuat saya kemudian berusaha juga mereplika pengalaman mendengarkan musik, juga dengan menggunakan peralatan playback dari dekade itu, vinil dengan amplifier analog, speaker floorstanding, dan belakangan saya bahkan menggunakan reel to reel player yang katanya lebih bagus dari vinil untuk kualitas output audio. Saya melakukan banyak investasi untuk peralatan-peralatan yang bisa mereplika nostalgia itu. Dan tidak ada yang bisa mencerminkan era ini sebaik album Brian Eno “Another Green World”. Ini adalah Eno pada puncak kemampuan ekperimentasi dengan teknologi rekaman dan reproduksi suara. Saya sudah lama terpesona dengan album ini, pernah gagal membeli vinil edisi lama di Minneapolis, membeli vinil cetakan 1980-an di ebay, mengumpulkan CD dan kasetnya. Jadi bayangkan betapa bahagianya ketika diumumkan Brian Eno melakukan remastering ulang album ini dengan teknik half-speed. Ketika album ini belum beredar, saya sudah memesan langsung ke website Brian Eno dan ketika sampai, hasilnya mungkin adalah salah satu vinyl dengan reproduksi suara terbaik dari semua koleksi vinyl saya di rumah. Terus terang saya lebih terpesona dan tercekam oleh bunyi dan suara, jadi kalau saya masih mendengarkan musik punk—dengan kualitas rekaman seperti album Bad Brains yang self-titled itu—saya hanya mendengarkannya untuk liriknya saja.




 




Metaruang




Di akhir tulisan “Musik Yahudi Gagal Berbunyi”, anda berujar bahwa alasan mengapa From Darkness dari Avishai Cohen Trio serta satu album yang belum diketahui judulnya (karena ditulis dengan huruf Ibrani) dari Amir Lev, yang dianggap sebagai Leonard Cohen-nya Israel itu, semuanya gagal terhubung dengan anda, adalah tak ada hal yang menarik dari musik yang menceritakan kemenangan; ketimbang musisi Yahudi lain seperti Dylan, Paul Simon, dan Lou Reed yang hanya bercerita ihwal mereka yang kalah. Bagaimana dengan skena hardcore-punk Israel dengan kolektif Anarchist Against the Wall-nya? Yang mungkin jadi anti-tesis dari musik-musik Yahudi di tanah Israel yang anda dengarkan. Terlebih, band-band maupun musisi dari skena hardcore-punk Israel itu justru menampilkan wajah bengis imperialisme negara mereka, para pegiatnya yang mengorganisir pemuda di tiap kibbutz lewat musik, seringnya terlibat konflik dengan serdadu IDF saat aksi pendudukan, bahkan mengusung garis politik serta keberpihakan yang sama denga Intifada dalam upaya pembebasan Palestina.




Taufiq Rahman




Terus terang tulisan itu bukan survei komprehensif scene musik di Israel dan saya juga 100 persen yakin bahwa di Israel juga masih memiliki banyak potensi perlawanan grassroots dari scene musik yang anda sebutkan, sama seperti di tempat-tempat lain di dunia. Tulisan itu lahir dari rasa frustasi pulang dari kunjungan resmi ke sana dan menyaksikan masyarakat yang sesungguhnya sekuler dan kosmopolitan dibajak oleh kekuatan ultra-nasionalis yang ingin menjadikan Israel ke kegelapan nasionalisme primitif. Apa yang terjadi di Israel ini sesungguhnya paralel dengan apa yang berlaku di Amerika Serikat di era Trump. Sejak saya pulang dari sana, Israel menjadi tempat yang menakutkan, di mana pembunuhan Arab minoritas menjadi semakin massal. Jerusalem kini resmi menjadi ibu kota Israel dan puncaknya kemarin parlemen setempat Knesset meresmikan status Israel sebagai negara apartheid dengan mengesahkan bahwa negara Israel hanya untuk orang Yahudi dan orang Arab dan bahasa Arab didemosi hanya menjadi warga negara kelas dua dan bahasa kelas dunia. Pada kenyataannya sebelum diresmikanpun Israel adalah negara dengan segregasi yang parah. Orang Arab hidup di tempat dengan demarkasi yang jelas, hidup di dalam ghetto-ghetto yang dipisahkan oleh tembok-tembok tinggi, untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain mereka harus melalui puluhan check point dan gardu keamanan dan bahkan mereka memiliki jalan raya sendiri yang terpisah dengan lalu-lintas mobil-mobil warga Yahudi. Bedanya sekarang adalah semua menjadi terbuka dan resmi.




Dan yang paling membuat frustrasi adalah semua terjadi di atas kenyataan bahwa pada level individu, orang-orang Israel, anak-anak mudanya adalah mereka yang sangat ramah, sangat pintar dan sangat kosmopolitan. Agak susah untuk menjelaskan split personality ini dan tulisan saya lebih merupakan ungkapan rasa frustrasi itu. Kenapa musik yang diciptakan oleh orang-orang ini justru tidak semenarik dengan apa yang ditulis oleh Efrim Menuck–seseorang yang sepertinya bangga dengan latar belakang Yahudinya–untuk Godspeed You! Black Emperor.




 




Metaruang




Anda menakik sederetan penulis musik dalam Pop Kosong Berbunyi Nyaring—baik yang berangkat dari tradisi jurnalisme musik maupun kritik musik. Mulai dari Jake Kinzey, Simon Reynolds, Lester Bangs, Will Layman, hingga Matt Taibi. Jika boleh tahu, siapa saja kritikus musik favorit yang tulisan-tulisannya anda lahap hingga hari ini?




Taufiq Rahman




Mungkin karena tulisan-tulisan kritikus musik tidak bisa seabadi manifesto-manifesto filosofi seperti Resistance, Rebellion and Death, atau fiksi-fiksi besar seperti Crime and Punishment milik Dostoevsky atau The Fall karya Camus atau juga buku-buku non-fiksi berpengaruh seperti Homo Deus Yuval Noah Hariri atau Disaster Capitalism dari Naomi Klein, akhirnya lebih banyak penulis ini datang dan pergi dalam hidup saya. Saya pernah suka dengan Chuck Klosterman tapi setelah karir jurnalismenya meredup saya jarang membaca karyanya lagi, terakhir saya baca buku Dorian Lynskey yang 33 1/3 Revolutions Per Minutes dan sudah agak melupakannya. Matt Taibbi juga sekarang kena masalah di Rolling Stone dan saya tidak lagi mengikuti karir kepenulisannya. Sekarang saya sedang suka dengan penulis muda dari Ohio Hanif-Willis Abdurraqib. Dia justru menulis tentang band-band anak muda yang saya kurang pedulikan, termasuk band emo Twenty One Pilots–yang bahkan sudah ditinggalkan oleh gadis kecil 14 tahun di rumah–dengan gaya sajak dan prosa Beat tahun 1950-an. Penulis ini katanya sedang banyak dibicarakan di Amerika Serikat. Satu lagi penulis yang saya akan cari terus tulisannya di manapun justru adalah mantan drummer Galaxie 500 Damon Krukowski yang merupakan pejuang gerakan mendengarkan musik secara analog yang juga ada di garda terdepan perjuangan melawan Spotify, sebuah niat mulia yang sepenuhnya saya dukung dengan segala daya dan upaya.




 




Metaruang




Angin elektoral semakin berhembus kencang menuju tahun Pilpres 2019, tak terkecuali segala bentuk kooptasinya di jagat musik. Seperti halnya tulisan anda ihwal Tim Kaine dan The Replacement itu yang pepat dengan gejolak politik serta keberpihakan maupun pengecaman para musisi pada salah satu kubu pasangan calon di Pilpres Amerika 2016. Sebagai redaktur pelaksana kolom politik di salah satu harian ternama, bagaimana anda melihat situasi ini? Terlebih ihwal adagium lesser evil di kalangan musisi so-called progresif.




Taufiq Rahman




Sebenarnya saya lebih suka membahas musik dan politik di Amerika Serikat atau Inggris, selain karena lebih banyak nuansa, resiko-nya juga lebih kecil, ha ha. Salah menulis sedikit tentang salah seorang kandidat politik, seluruh Jakarta bisa terbakar atau dapat serangan bot di sosial media. Membicarakan musik dan politik di Indonesia akan menarik sebenarnya kalau musik dan lirik musisi-musisi lokal sudah keluar dari kecenderungan hanya menulis slogan-slogan sederhana dalam musik mereka. Tidak banyak musik mutakhir Indonesia yang bisa menangkap kompleksitas masyarakatnya dengan gaya bertutur yang unik seperti Kelompok Kampungan di album “Mencari Tuhan”. Tidak banyak lagi yang bisa menulis lirik politis dengan lapisan makna dan makna-makna berganda.




Lebih banyak slogan dan simplifikasi tema di musik kita dan ketika akhirnya musik-musik ini masuk ke ranah politik, agak sulit untuk menganggapnya terlalu serius. Agak diragukan apakah musik-musik seperti ini akan bisa melakukan fungsi lebih dari sekedar menarik massa ke lapangan, yang tidak beda jauh dengan konser-konser dangdut pilkada. Sangat beda jauh misalnya ketika Jello Biafra dari Dead Kennedys mencalonkan diri menjadi wali kota San Fransisco atau sekarang Beto O’Rourke mantan gitaris yang dekat dengan The Mars Volta maju sebagai kandidat Senator di Texas, kita tahu bahwa pencalonan ini memiliki arti simbolis yang penting akan sebuah perlawanan dan kesadaran politik–meski masih dalam kerangka electoral politics. Kalau seniman di Indonesia turun ke politik yang pasti cuma untuk dapat jabatan atau dapat proyek. Atau bahkan jika para musisi ini serius berpolitik–sama dengan politisi normal lainnya–mereka masih punya ilusi bahwa electoral politics akan bisa menyelesaikan masalah. Saya memang punya ambivalensi dengan politik kotak suara karena if election can change anything, they would make it illegal, begitu kata Emma Goldman, Mark Twain hmm.. atau Donald Trump, saya bahkan tidak tahu lagi siapa yang mengatakan ini…ha ha ha.




 




Metaruang




Tak hanya musik dan politik, dalam salah satu tulisan yang membahas Brian Eno, anda mengisahkan pula soal novel The Pale King yang ditulis oleh David Foster Wallace. Dalam tulisan itu, dikisahkan bahwa David Foster Wallace menjadikan nomor “The Big Ship” milik Brian Eno sebagai lagu instrumental favoritnya, bahkan menulis ihwal lagu itu di dalam novelnya. Karya atau penulis mana saja yang menjadi referensi anda dari ranah kesusastraan?




Taufiq Rahman




Tempat saya kuliah di Amerika Serikat dekat dengan tempat tinggal David Foster Wallace (DFW) di suburban Chicago dan ketika saya di sana saya seperti menemukan teman baru dengan membaca karya-karya fiksi maupun non fiksi DFW. Punya banyak waktu membaca di tempat asing adalah anugerah yang luar biasa mahal dan saya melahap apapun karya DFW dan tenggelam dalam nostalgia akhir 1990-an dan melankolia yang tidak terbandingkan syahdunya, sesuatu pengalaman in situ yang tidak akan bisa diulangi jika misalnya saya membaca karya-karya DFW dengan latar belakang Jakarta atau Bandung.




Cahaya, warna, cuaca dan udara tempat saya membaca karya itu semua adalah yang melatari novel dan esai DFW dan saya dengan mudah menemukan koneksi itu. Waktu dan suasana yang tepat memberikan pengalaman membaca yang berbeda. Yang paling mengejutkan tentu saja adalah bahwa DFW memiliki selera musik yang lebih sering bersinggungan dengan saya, jadi sekali lagi saya seperti menemukan kakak atau saudara tua yang tidak pernah saya punyai. Selera musik yang terikat dengan jiwa yang rapuh namun dengan segenap daya upaya berusaha mencoba untuk mengatakan bahwa hidup akan baik-baik saja. Jika saya bisa memilih, saya ingin anak saya tidak pernah tahu DFW, karena saya mau dia hidup baik-baik saja tanpa harus berkenalan dengan melankolia ekstrim yang kadang bisa melumpuhkan jiwa dan raga. Setelah sibuk mencari nafkah, terus terang saya tidak banyak lagi membaca karya fiksi dan lebih banyak menghabiskan membaca karya-karya non-fiksi tentang manusia dan alam semesta, buku-buku seperti About Time karya Adam Frank, buku-buku Jared Diamond dan Yuval Noah Hariri tentang sejarah evolusi manusia dan budayanya, serta juga buku-buku sejarah makanan yang ditulis oleh Michael Pollan. Hanya sesekali saja saya membaca non-fiksi yang hebat, seperti My Struggle karya penulis Norwegia Karl Ove Knausgard yang gondrong dan rock and roll itu. Itu buku fiksi terakhir yang mampu membuat saya terpana. Narasinya mirip dengan cara bercerita DFW yang terobsesi dengan detail buram hidup manusia.




 




Metaruang




Di tengah percepatan pembangunan maha abrasif dari cetak biru MP3EI & RPJMN, bermunculan festival-festival maupun panggung musik solidaritas yang dihelat di titik api. Bagaimana anda melihat hal itu? Ketika musik yang dianggap sebagai zeitgeist, namun juga mampu menjadi medium pengorganisiran massa?




Taufiq Rahman




Saya terus terang tidak terlalu berharap bahwa konser musik, acara budaya atau gerakan sejuta koin dan album kompilasi akan bisa memberikan sumbangan perubahan apapun. Yang paling penting buat saya adalah edukasi. Saya bukan ahli gerakan massa, tapi sepertinya massa lebih banyak digerakkan oleh uang dan/atau sentimen agama di Indonesia. Musik, budaya dan literatur akan bisa menciptakan potensi untuk kebaikan dan perubahan justru ketika dia ditekuni di level individu, dalam ruang-ruang pribadi dan renungan akan arti keberadaan. Saya sudah dua kali melihat gerakan massa yang besar yang berhasil menciptakan perubahan, tapi dua-duanya berujung kekecewaan. Sebelum kita bicara gerakan massa, saya lebih suka bicara bagaimana kita bisa mendidik diri kita sendiri dan orang-orang di dekat kita. Start small, mulai dengan yang kecil dulu dan konsisten dengan itu, jangan mau berkompromi bahkan dengan hal-hal yang nampaknya remeh temeh. Pilihan penggunaan bahasa misalnya bisa menunjukkan apakah Anda konformis atau bukan, atau memilih tempat makan, fast-food atau warung Tegal juga akan merepresentasikan apa yang Anda percaya. Saya lebih percaya bahwa mewariskan Beastie Boys ke anak Anda akan lebih berpengaruh baik kepada kemanusiaan dibandingkan tiga tahun hapalan pelajaran budi pekerti di SMP. Beri mereka konteks bagi teks, biarkan mereka menentukan jalannya sendiri.




 




Metaruang




Parameter atau kebijakan dapur semacam apa yang selama ini dipegang teguh Elevation Records dalam merilis roster-rosternya?




Taufiq Rahman




Kalau Anda perhatikan belakangan Elevation Records tidak banyak lagi mengeluarkan album-album baru. Kami belum berhenti, hanya sedikit lebih rileks dan tidak lagi terburu-buru untuk mencapai pembuktian apapun–walaupun kami juga tidak pernah mau membuktikan apapun, ha ha. Rilis ulang terakhir kami Bandempo terus terang adalah kerja yang besar dan secara artistik, banyak teman yang mengatakan itu album yang susah ditandingi. Harlan Bin misalnya menempatkan itu sebagai album terbaik dekade awal 2000-an. Setelah Bandempo atau Semakbelukar, dengan bar yang being set so high, agak sulit untuk mencari yang benar-benar membuat saya pribadi akan sangat excited, meskipun di luar sana ada begitu banyak album dan musik-musik baru yang sangat bagus. Perlambatan juga kami lakukan untuk mengamati trend bagaimana individu mendengarkan musik, karena kini semua orang memakai layanan streaming–sesuatu yang bertolak belakang dengan idealisme saya–sedangkan di sisi lain, music fans tidak lagi terlalu suka menimbun CD ditambah vinyl bukan lagi hot item seperti dua atau tiga tahun lalu. Jadi kami masih memikirkan format apa yang paling bisa dieksplorasi. Santai saja. Kalau standar yang kami pakai di Elevation Records, musiknya tidak harus bagus dan mahal produksinya, asal musik itu ingin menyampaikan “pesan” yang jelas, dan bukan sekadar ngak ngik ngok, pasti kita mainkan.




 




Metaruang




Elevation telah mantap menaruh jangkar di skena musik independen Indonesia. Entah itu lewat label rekaman maupun penerbitannya. Terpikirkah untuk membuat sektor atau unit kerja lain semisal menginisiasi podcast ataupun video-blog? Seperti halnya sang kritikus musik pentolan The Wire, yakni Ben Watson, yang menginisiasi siaran radio jazz maupun musik progresif di Resonance FM.




Taufiq Rahman




“Mantap” mungkin bukan kata yang tepat karena saya tidak yakin kalau kita sudah memberikan kontribusi apapun buat scene, lebih banyak yang melakukan hal lebih besar buat musik dan budaya Indonesia. Di blurb buku pertama saya ada kutipan “Sangat kecil, jikapun ada sumbangan buku ini untuk dunia tulis-menulis di Indonesia,” itu bukan bercanda tapi serius, ha ha. Saya tidak presumptious akan bisa memberi kontribusi apapun. Anyway… sebenarnya banyak ide yang kita punya, majalah, video blog, pressing plant (?) tapi hambatan besarnya cuma masalah sumber daya manusia, mengingat semua dikerjakan dengan bantuan sedikit orang dan tentu saja lebih sedikit modal, ha ha. Saya tidak pandai mencari investor dan tentu saja tidak ada venture capitalist yang mau membiayai usaha start-up yang nggak jelas profitnya ini. Tapi juga dengan ketidakjelasan ini, tetap ada semangat independen yang bisa kita nikmati, karena tidak ada bottom line yang harus dipenuhi dan kita tidak harus menjawab pertanyaan dari pemilik modal. Kini pelan-pelan saya mulai memperbaiki hal-hal teknis dan administratif supaya upaya yang ada sekarang lebih sustainable. Masih ada beberapa hal yang ingin kami lakukan.




 




Metaruang




Bagaimana pandangan anda mengenai iklim majalah musik cetak di lokal hari ini? Apa matinya Rolling Stone sebagai suatu sinyelemen bagi punahnya jurnalisme cetak, khususnya musik?




Taufiq Rahman




Liburan lebaran kemarin saya membaca buku berjudul “Return of the Analog”, dan dari buku itu saya mendapat banyak pelajaran bahwa analog atau print belum dan mungkin tidak akan mati. Naiknya penjualan vinyl dan banyak dibukanya toko buku independen justru semakin menunjukkan bahwa mendengarkan musik dan membaca buku tetap akan bertahan sepanjang peradaban umat manusia bertahan. Dan dari buku itu saya juga mendapatkan resep bagaimana produk fisik harus bertahan. Yang mati bukan jurnalisme musik atau literatur, tapi produk jurnalisme yang mencoba menyuapi audiens yang terlalu luas, memuaskan keinginan semua orang. Anda harus ingat bahwa kini semua orang punya akses ke internet dengan sajian informasi yang hampir sama. Tidak perlu majalah untuk informasi ini, yang kita perlukan adalah majalah essay dan interpretatif seperti New Yorker, yang tetap laku dan melaju kencang di tengah goncangan.




Yang kita perlukan adalah produk fisik yang memuaskan kebutuhan mereka yang memang serius mendengarkan musik atau membaca buku dan orang-orang ini kebetulan adalah creme de la creme, orang-orang terpelajar yang cukup punya kemampuan untuk membeli produk fisik. Mereka tidak banyak jumlahnya namun punya standar tinggi akan mutu. Jadi produk fisik, jurnalisme atau literatur harus dirancang dan didesain dengan sangat baik. Ini yang akan membuat orang kembali membaca buku dan mendengarkan musik secara serius. Kalau mau membaca gosip atau sejarah berdirinya band, baca saja dari majalah online atau Wikipedia. Atau kalau mau dengar Drake, ya sudah pakai Spotify saja. Sudah saatnya tulisan-tulisan budaya, soal musik, film atau fiksi, dikemas dalam buku dan dinikmati sebagai kemewahan yang harus dibayar.




 




Metaruang




Hingga hidup anda sekarang, tentu banyak album penting dan berpengaruh besar, sampai meruang-inap dan bermukim di ingatan anda. Adakah album masa kecil atau masa kanak yang punya kesan dan menyimpan berjumput memori bagi anda? Terlebih saat membaca salah satu wawancara, anda tumbuh dari keluarga Nahdliyyin.




Taufiq Rahman




Saya bukan nahdliyyin yang baik. Tidak banyak hal yang bertahan dari masa kecil. Mungkin hanya pengalaman dari membaca Tom Sawyer and Huckleberry Finn dari Mark Twain yang masih teringat dari masa kecil (buku itu saya curi dari perpustakaan SD, karena memang saya dulu suka mencuri buku dari kantor kepala sekolah, ha ha). Musik dari masa kecil tidak banyak yang bertahan di kepala saya sampai sekarang. Tapi ada satu alunan musik yang begitu indah yang tidak akan pernah hilang dari masa itu. Dulu di radio FM yang saya dengarkan banyak diputar sandiwara atau opera radio yang dimainkan oleh penyiar-penyiar radio dan dramawan lokal. Drama itu sendiri sudah saya lupakan dan tidak lagi membekas di hati, tapi ada satu yang sangat istimewa karena memakai lagu Gito Rollies: “Burung Kecil”. Alunan okestra pianonya begitu indah dengan cuitan-cuitan keybord dan mungkin salah satu potongan paling indah dari musik Indonesia. Liriknya juga sangat kontemplatif. Waktu itu saya sama sekali belum paham sejarah rock Indonesia apalagi pernah mendengar nama The Rollies. Setelah itu Gito Rollies punya tempat yang sangat istimewa di hidup saya. Sampai sekarang.




 




 Metaruang




Tatkala menyelisik kembali “Jalan Sunyi The Walkmen”, anda menceritakan secuil kisah ketika bersama gadis kecil anda memutar album Lisbon dalam perjalanan sepulang sekolah. Dan di jawaban sebelumnya anda pun berujar bahwa mewariskan Beastie Boys pada sang anak, akan lebih berpengaruh baik kepada kemanusiaan tinimbang tiga tahun hafalan pelajaran budi pekerti di SMP. Tentu ada pengalaman berbagi referensi musik lainnya yang telah anda lalui bersama si gadis kecil yang kini semakin piawai memainkan drum itu. Album-album apa saja yang pernah anda perdengarkan atau didengarkan bersama dengan sang anak? Lalu kisah atau cerita apa saja yang hadir manakala sang gadis kecil selesai mendengarkan musik yang anda atau kalian putar itu?




Taufiq Rahman




Sebagian besar koleksi piringan hitam saya sudah pindah ke kamar dia. Dan hampir semua musik yang saya dengarkan, dari mulai yang paling rusak seperti Trout Mask Replica sampai yang paling hip hop seperti Madvillainny atau Wu Tang 36 Chambers semua sudah menjadi milik berdua dan kita dengarkan bersama-sama, dan sama seperti saya di usia muda, dia juga sudah menggali lebih dalam semua informasi tentang semua musik yang sedang dia dengarkan. Ini saja dia mau melakukan proses pre-order untuk buku memoir paling baru The Beastie Boys. Semua yang saya dengarkan mulai dari Brian Eno sampai Television sudah dia dengarkan secara tidak sadar sejak dia masih tiga tahun. Semua mengalir secara alami, simply karena dari kecil dia sudah terlalu sering mendengar ini bergaung di rumah, sudah tertanam di kepalanya dari sejak kecil. Yang paling baik dari semua ini adalah percakapan anak dan orang tua akan akrab seperti teman, walaupun dia masih sering protes kalau album-album Sleep diputar terlalu keras di ruang tamu.




Sudah menjadi habit juga untuk pergi ke toko musik bersama dan pulang dengan membawa vinyl. Jika saya keluar negeri, pesanan vinyl buat dia lebih banyak daripada buat saya sendiri.




 




 Metaruang




Pada album The Osaka Journals milik Sajama Cut, ada 4 liner notes yang termaktub di dalamnya. Salah satunya adalah liner notes yang ditulis oleh anda sendiri sebagai produser album itu. Liner notes yang sebelumnya dianggap hanya pendamping saat mendengarkan album, kemudian bisa pula menjadi medan eksplanator si album, serta menyediakan perspektif yang lebih luas lagi. Apa yang melatar-belakangi anda sebagai produser untuk lantas nekat memuat 4 liner notes pada album The Osaka Journals? Liner notes dari album mana saja yang menurut anda dianggap paling esensial serta memuat eksplanasi yang tak biasanya?




Taufiq Rahman




Liner notes punya fungsi maha penting bagi sebuah album—apalagi buat kita yang dibesarkan di era sebelum internet. Jangankan membaca liner notes yang panjang, membaca lyric sheet dan menemukan nama-nama siapa yang terlibat dalam pembuatan album saja sudah luar biasa. What a revelation! Dulu sewaktu album Superunknown Soundgarden dirilis di Indonesia dalam versi cassette tape, liriknya dicetak di atas sleeve memanjang dengan gambar-gambar sureal tipis yang membuat pengalaman mendengarkan album ini menjadi semakin intens. Ketika beralih ke CD, liner notes menjadi semakin punya arti penting, apalagi untuk album-album reissue. Saya masih ingat meminjam CD reissue Marquee Moon dari Television, yang akhirnya tidak saya kembalikan. Ada ulasan asli Nick Kent dari majalah NME dari akhir dekade 1970-an dicetak ulang di sleeve monokoramatik yang misterius. Tulisan itu sedahsyat musik yang terangkum di CD-nya. Ketika saya sudah cukup mampu mengumpulkan piringan hitam, saya sering membeli proyek reissue dan salah satunya adalah album rilis ulang Kourosh Yaghmaei “Back from the Brink” dengan sebuah liner notes yang mampu membuat saya berurai air mata. Liner notes itu ditulis ulang dari sudut pandang Kourosh sendiri. Ceritanya begini: setelah revolusi Iran musik ngak-ngik-ngok dilarang di negeri Shiah ini atas perintah Ayatollah dan akhirnya Kourosh terpaksa main musik secara sembunyi-sembunyi. Akhir tahun 1990-an dia berniat konser di Swedia dan mencari teman-teman lamanya di band dulu. Beberapa sudah ganti profesi menjadi pedagang, penjahit dan penjaga pasar. Cuma satu yang belum ketemu, sang drummer, yang akhirnya dia temukan menjadi makelar pasar. Mereka berkumpul untuk latihan dan menemukan bahwa sang drummer Changiz Farjad sudah tidak mampu bermain musik lagi. “Saya melihat tangannya gemetar dan saya lihat air mata mengalir di mukanya,” ucap Kourosh di liner notes itu. Begitu kuatnya peran liner notes buat saya.




 




Metaruang 




Di tengah selang-sengkarut perdebatan ihwal Spotify, anda sebagai seorang pegiat label rekaman menarik konklusi bahwa Spotify hanyalah asa penunda kekalahan bagi para musisi yang bukan big fish. Ia menyaru sebagai sebilah katana bermata dua. Hal itu berangkat dari tak ada satu sen pun rupiah yang anda terima dari Spotify untuk katalog lengkap yang diterbitkan Elevation Records. Tak urung, anda pun menakik hitung-hitungan rate Spotify yang diberikan untuk label independen, yang ditulis Krukowksi di “Making Cents”. Langkah apa yang terus anda upayakan lewat Elevation Records di hadapan Spotify serta berbagai portal penyedia music streaming lainnya?




Taufiq Rahman




Hampir semua katalog Elevation ada di layanan streaming, baik yang masih bertahan maupun gulung tikar, lokal maupun internasional. Tapi setelah enam tahun hampir tidak mendapatkan apapun, saya memutuskan untuk hanya merilis musik dalam bentuk fisik saja. Jika bukan CD atau vinyl ya kaset, produk-produk tangible yang bisa dielus dan dipajang. Saya juga tidak yakin jika layanan streaming akan bisa bertahan lama. Spotify sama sekali belum mencetak laba dan mulai dikalahkan oleh Apple. Peta persaingan layanan streaming ini masih belum bisa ditebak dan saya tidak mau menggantungkan selera musik saya ke sebuah platform yang bisa terhapus dari dunia siber besok pagi. Musik yang paling baik adalah musik yang tersimpan di lemari, rak atau di atas meja kerja a